Pimpinan : Gun gun Nugraha, S.Sn
Desa Cisewu Kecamatan Cisewu Kabupaten Garut
Seni gegel jubleg merupakan sebuah revitalisasi dari keseniaan yang ada di kecamatan cisewu dimana memuat kesenian yang berakar dari seni debus yang dikemas menjadi sebuah karya seni helaran magis.
Kesenian ini tidak lepas dari muatan mistis sebagaimana seni tradisi lainnya yang berkembang di nusantara, kemasan helaran ini pun menonjolkan sisi trance para pelakunya. Cikal bakal dari kesenian seni gegel jubleg adalah kesenian panca warna. kesenian panca warna adalah sebutan pada kesenian yang memuat berbagai jenis seni dalam satu grup untuk dipentaskan dalam satu waktu.
Jubleg adalah salah satu peralatan yang dipergunakan untuk menumbuk bumbu atau lain-lainnya. Dengan kekuatan yang hebat, beberapa orang memperlihatkan keperkasaannya dengan mengangkat Jubleg tersebut dengan cara digigit atau digegel. Kesenian ini dipadukan dengan berbagai seni tradisional lainya, diantaranya : Seni Kuda Lumping dan Seni Angklung. Kesenian ini hidup dan berkembang di Kecamatan Cisewu, dan dipimpin oleh sdr. Gun gun Nugraha, S.Sn.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh penulis dari beberapa sesepuh pendiri kelompok seni Giri Mekar Sewu ini. Seni gegel jubleg diciptakan oleh salah seorang seniman (Perintis Kelompok Seni Giri Mekar Sewu) bernama Ukri (Alm.). Beliau lahir sebelum tahun kemerdekan RI. Di tengah suasana perang, beliau menyempatkan diri untuk menggali potensi kesenian pemuda waktu itu. Dan membentuk sebuah kelompok seni tradisi Sunda ‘ Panca Warna’, sebuah garapan yang multi kesenian, diantaranya: Rengkong, reog, angklung, calung, debus, dan kuda lumping.
Seni gegel jubleg yang menjadi seni unggulan di kecamatan Cisewu yang hadir di kelompok seni Giri Mekar Sewu hingga sekarang ini, lahir dari ketidaksengajaan. Seni tersebut terinspirasi dari sebuah peristiwa yang disaksikan oleh Ukri. Suatu hari Ukri pergi ke hutan berniat mengambil kayu bakar miliknya, yang ditaruh beberapa hari. Sesampainya di tengah hitan, ia dikejutkan oleh seekor babi hutan besar yang menggigit sebatang kayu sembari digoyang-goyangkan, seraya melintasi jalan setapak dan masuk ke semak belukar.
Dari kejadian tersebut, menginspirasi Pak Ukri untuk menciptakan sebuah jenis seni tradisi baru. Sebuah bentuk seni tradisi atraktif dan fenomenal. Pengembangannya Pak Ukri mencoba menggunakan Jubleg (alat penumbuk padi dari kayu) dengan cara digigit sebagai bahan untuk atraksi. Tentu saja dengan teknik tertentu dan perlu keahlian khusus dalam memainkannya. Sebab tidak gampang untuk mengangkat beban jubleg ini hingga seberat 25 kilo gram. Apalagi digoyang-goyang sambil berjalan-jalan.
Karena sudah dianggap berhasil dalam pembuatan karyanya, atraksi ini mulai digunakan didalam berbagai pementasan. Baik itu acara hajatan ataupun hari besar kemerdekaan. Dengan tradisi seperi itu dan melihat respon baik dari penonton, tercetuslah sebuah nama seni “Gegel Jubleg” hingga saat ini.
Pementasan seni gegel jubleg itu, tentu saja tidak lepas dari pamirig atau pengiring musiknya. Dibubuhi juga oleh seni reog, angklung, bahkan kendang pencak. Tak jarang juga dicampuri atraksi gesrek atau debusan. Untuk lebih menghidupkan suasana pertunjukan.
Disayangkan, seni gegel jubleg hanya bisa berlaga dan berjaya hingga akhir tahun 90-an . Setelah itu lenyap diikuti oleh seni-seni tradisi sunda lainnya. Dampak dari beberapa faktor, salahsatunya adalah perubahan politik di Indonesia dari orde baru ke orde reformasi yang menghancurkan hampir seluruh kesenian tradisi di negara ini.
Namun, kepunahan seni gegel jubleg tak berlangsung lama. Ceceng Jaenudin, salah seorang warga Kp. Cilumbu, desa Mekar Sewu. Tempat dimana seni gegel jubleg lahir. Ceceng bersama dengan Global Art Kecamatan Cisewu yang dirintis penulis. Sekuat tenaga membuat terobosan untuk membangkitkan kembali seni tersebut ditahun 2011, dengan mengikut sertakan dalam kegiatan gelar budaya yang bertema : “Ngajugjug Cisewu Puseur Budaya Pasundan”, yang didukung sepenuhnya oleh Drs. Edi Supriadi (Eks. Sekmat Cisewu), dan AIPDA Dikdik Gunardi (Kanitreskrim polsek Cisewu).
Semenjak diikutsertakan dalam acara tersebut, seni gegel jubleg beserta kelompok seni Giri Mekar Sewu dengan anggota kelompok yang terdiri dari: Aroh, Eneng, Cucu, Hajar, Ipah, Geuis, Een, Ceceng, Enung, Sulaesih, Kaman, Darisman, Daday, Tarwan, Ade, Tarman, Suhanin, Odang, Tori, Damin, Aris, Taryadi, Sarman, Wasman, Abah Icang, Osin, Cahya dan Imay. Mulai bisa bangkit dan berlaga kembali seperti puluhan tahun yang lalu.
KREASI BARU PENGGARAPAN SENI GEGEL JUBLEG
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh grup Giri Mekar Sewu mulai melakukan sebuah inovasi, memilih beberapa kesenian untuk bisa memberikan warna baru dalam pementasan seni gegel jubleg ini. Dan berkembang menjadi seni helaran yang pernah dipentaskan dalam acara festival helaran di kabupaten Banjar 2012, program : “ Pemberdayaan Sarjana Seni, DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat.”
Materi garapan meliputi:
- Seni Gegel Jubleg
- Badawang yang di kreasikan dengan stand pengeras suara
- Buncis merupakan kreasi dari tetabuhan angklung dengan penggarapan topeng yang menggunakan asesoris dari kebiasaan dan mata pencaharian masyarakat Cisewu
- Dog dog
- Kuda Lumping khas Cisewu
- Debus baksa kreasi helaran yaitu pertarungan antara dua jawara dengan menggunakan golok.
- Bangbarongan
Kesenian di atas akan dikreasikan sebagai bentuk seni helaran magis dengan urutan sebagai berikut:
- Paling depan adalah lengser sekaligus sebagai shaman atau dukun yang membawa sesajen dan bakar kemenyan, serta membawa air kahuripan yang dicipratkan oleh hanjuang beureum.
- Debus baksa sebagai palang pintu dan sebagai simbol pendekar penjaga keamanan, dengan demontrasi silat menggunakan senjata golok.
- Gegel jubleg, atraksi memakai topeng dari jubleg dan memfungsikannya sebagai topi. Diselingi oleh gesrek yaitu seni kekebalan.
- Buncis, dogdog, kendang dan goong sebagai pemain tetabuhan yang diselingi dengan ibingan buncis.
- Bangbarongan yang bergerak acak dan melakukan komunikasi langsung dengan penonton.
Tahapan Proses Penggarapan
- Pembuatan Topeng
Topeng merupakan bagian penting dari seni helaran pancawarna namun keadaannya sudah menghawatirkan dan hanya meninggalkann sebagian kecil yang tersisa itupun posisinya tercecer, sehingga perlu untuk dibuatkan kembali topeng baru. Topeng yang dibuat sekarang tidak berbahan kayu karena bahan baku yang sudah berkurang dan semakin mahal, maka bahan topeng kali ini memakai kertas, dikreasikan dengan riasan dan asesoris untuk menyerupai raksasa atau buta dalam pewayangan.
- Pembuatan Kuda Lumping
Kuda lumping sebenarnya sudah tersedia, namun bentuknya masih sedehana. Maka diusahakan untuk dibuatkan kembali kuda yang baru dengan bentuk yang dimodifikasi sedikit dan tanpa menggunakan cat, agar anyaman bambunya tidak tertutup.
- Pembuatan Jubleg
Jubleg ini niscaya dibuat sebab warisan dari nenek moyangnya sudah tidak terselamatkan. Jubleg ini nterbuat dari kayu.
- Pembuatan Bangbarongan
- Pengadaan Badawang
Seni Gegel Jubleg: Simbol dan Mitologi
Kesenian gegel jubleg ini tidak lepas dari muatam mistis sebagaimana seni tradisi lainnya yang berkembang di nusantara, kemasan pemanggungan ini pun menonjolkan sisi trance para pelakunya. Karena kesenian ini didasarkan pada kedudukan Balong Sirah (Mata air yang membentuk kolam besar) sebagai lambang kehidupan, kemakmuran kecamatan Cisewu, dimana terdapat seribu mata air yang mitologinya sebagai air keramat. Posisi Balong Sirah bagi masyarakat Cisewu sangat vital, sebagai sumber air untuk mencukupi segala kebutuhan kehidupan di cisewu. Maka untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap keberlimpahan kehidupan di cisewu diadakan upacara kesenian dengan membawa air dari balong sirah yang cipratkan oleh daun hanjuang beureum.
Cipratan air Balong Sirah dari daun hanjuang beureum ini sebagai simbol memandikan warga, karena menurut mitologinya, banyak pejabat tinggi negara yang mandi dulu di baalong gede sebelum mereka menjadi birokrat, air ini dipercaya sebagai air berkah yang dapat mendorong seseorang untuk mencapai impian yang dicita-citakannya.
Semua itu, terangkum dalam pertunjukan seni gegel jubleg. Mengungkapkan sisi mistik, mitologi, sejarah kecamatan Cisewu, yang disampaikan melalui bahasa-bahasa yang simbolis, spektakuler. Menjadi senyawa seni yang unik disetiap repertoarnya.