Tempat dan Tanggal Laporan Karya Budaya
Tempat : Desa Mandalakasih, Kec. Pameungpeuk, Kab.Garut
Tanggal : 24 September 2013
Sejarah Singkat Karya budaya
Sekitar abad ke-18 penduduk di daerah Pameungpeuk sama sekali belum mengenal Islam. Pada waktu itu, datanglah seorang ulama dari Banten untuk menyebarkan ajaran agama Islam di daerah Pameungpeuk. Tidak diketahui dengan pasti siapa nama ulama tersebut. Namun masyarakat mengenalnya dengan sebutan Mama Ajengan.Mengingat Islam masih sangat asing bagi masyarakat di sana, Mama Ajengan pun mencari cara untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Tidak mudah, karena pada waktu itu masyarakat sudah lama menganut agama atau kepercayaan lain yang lebih dulu ada.Setelah bermunajat kepada Allah SWT, akhirnya Mama Ajengan mendapat ilapat. Bersama santri-santinya, beliau membuat seperangkat alat tetabuhan dari batang pohon pinang yang dilubangi tengahnya dan bagian atasnya ditutup dengan kulit kambing. Ketika dipukul, alat tersebut mengeluarkan bunyi yang sangat unik. Apalagi ketika ditabuh bersamaan. Selain unik, juga bervariasi. Tetabuhan tersebut dimainkan untuk mengiringi sholawat, barjanji, dan puji-pujian yang mengagungkan nama Allah SWT.
Selain belajar agama dan dilatih memainkan tetabuhan, para santri juga dibekali dengan ilmu-ilmu beladiri dan kebathinan, untuk memunculkan sumber kekuatan dari dalam dirinya masing-masing. Atas izin Allah, mereka bisa tahan terhadap pukulan benda keras, kebal akan benda tajam, dan sebagainya. Di sela-sela pertujukan tetabuhan, para santri juga mempertunjukkan ilmu beladiri dan kebathinannya. Mama Ajengan selalu menekankan bahwa ilmu-ilmu tersebut hanya untuk membela diri, dan hanya bisa diamalkan atas izin Allah. Mama Ajengan menyebut pertunjukan itu sebagai seni debus. Diambil dari kata teu nembus (tidak tembus), yakni ketika pertunjukan ilmu kekebalan tubuh, senjata tajam yang ditusukkan, tidak bisa menembus kulit pemain debus. Mama Ajengan dan para santrinya pun semakin gencar menyebarkan agama Islam. Berkeliling ke berbagai daerah, mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, umaro, orang tua, anak muda, laki-laki dan perempuan, untuk mempertunjukkan seni debus.
Dengan sendirinya, kesenian ini pun semakin dikenal banyak orang, setiap menggelar pertunjukkan debus, sedikit demi sedikit diperkenalkan ajaran agama Islam melalui lagu-lagu rohani, sholawatan dan berjanji yang diambil dari hikmah-hikmah kitab suci Al-Quran, yang isinya mengajak masyarakat banyak untuk dapat memahami dan melaksanakan ajaran agama islam.
Seni Tradisi Debus lahir secara turun temurun di Desa Mandalakasih, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut sebagai warisan leluhur. Seni debus ini sekarang dipimpin oleh Bapak Pepen Sofyan dengan jumlah personil ± 15 orang (termasuk nayaga) yang sering tampil setiap hari kemerdekaan 17 Agustus. Adakalanya tampil bersama seni Rengkong setiap Gelar Budaya pada peringatan Hari Jadi Garut.
Kategori Karya budaya
seni pertunjukan, termasuk seni visual, seni teater, seni suara, seni tari, seni musik, film
Deskripsi Singkat Karya budaya yang dilaporkan saat ini
Debus adalah bentuk seni beladiri yang mempertunjukkan kekuatan tubuh manusia yang luar biasa, seperti tahan terhadap pukulan benda keras, tahan terhadap panas api, kebal terhadap senjata tajam, dan lain sebagainya. Kesenian ini sudah lebih dulu berkembang di Banten, sebelum dibawa ke berbagai daerah oleh para ulama penyebar Agama Islam. Termasuk ke daerah Pameungpeuk Garut Selatan. Debus dibawa oleh seorang ulama Banten yang dikenal masyarakat dengan sebutan mama Ajengan, sekitar abad ke-18. Awalnya, kesenian ini merupakan media dakwah penyebaran agama Islam. Namun oleh almarhum Abah Mi’an, dikemas menjadi semacam seni pertunjukan yang utuh. Sejak saat itu pula, debus semakin banyak dipertunjukkan di tempat-tempat keramaian. Pertunjukan seni debus biasanya digelar pada acara ritual adat, acara hajat khitanan, pernikahan, perayaan hari-hari besar keagamaan, dan perayaan-perayaan lainnya. Di dalamnya tergabung beberapa jenis seni pertunjukan, yakni silat, rudat, lais, sucipta, dan debus itu sendiri. Biasanya, pertunjukan seni debus diawali dengan bubuka berupa lantunan sholawat, puji-pujian dan dzikir kepada Allah, diiringi dengan tetabuhan selama beberapa saat.
Dilanjutkan dengan beluk, nyanyian dzikir dengan suara tinggi melengking, bersahut-sahutan dan diiringi tetabuhan.Bersamaan dengan beluk, biasanya para pemain mulai mendemonstrasikan kemampuannya. Menusuk perut dan dada dengan benda tajam, memukulkan batang bambu besar ke kepala, menebaskan golok ke anggota tubuh, menusukkan jarum, mandi air keras, memasak di atas kepala, dan lain sebagainya. Tidak sembarang orang bisa bermain dalam sebuah pertunjukan seni debus. Harus melalui proses latihan dan proses-proses ritual yang cukup panjang
Kondisi Karya budaya Saat ini
Masih bertahan
Upaya Pelestarian/Promosi Karya budaya selama ini
Promosi langsung, promosi lisan (mulut ke mulut)
Pertunjukan seni, pameran, peragaan/ demonstrasi