Tempat dan Tanggal Laporan Karya Budaya
Tempat: Desa Cijambe Kec. Cikelet
Tanggal: 21 September 2013
Sejarah Singkat Karya budaya
Di sepanjang pesisir Garut Selatan, mulai dari daerah Cikelet, Cijambe, hingga Cijayana dan Ranca Buaya, setiap tanggal dua puluh lima pada penanggalan Hijriyah, masyarakat beramai-ramai ke pantai. Dengan berbekal waring, alat penangkap ikan yang terbuat dari semacam kain kasa atau kelambu yang diberi gagang berbentuk segitiga dari rotan, warga berbondong-bondong ke muara sungai. Konon, setiap tanggal dua puluh lima bulan hijriyah muara sungai akan dibanjiri ikan-ikan impun. Menurut pengetahuan tradisional masyarakat, hal itu berkaitan dengan siklus perkembangbiakan ikan impun (anak ikan ménga) yang terjadi setiap bulan. Pada tanggal lilikuran (tanggal 21 sampai 29) impun-impun akan datang ke muara dari tengah laut. Impun-impun tersebut datang ke muara dengan maksud untuk kembali ke habitatnya, yakni sungai. Awalnya, induk mereka, yakni ikan ménga yang hidup di sungai, membiarkan telurnya hanyut sampai ke laut. Ketika telur-telur itu menetas, maka secara naluriah mereka akan kembali ke habitatnya di sungai. Nah, kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat, untuk berburu impun sebanyak-banyaknya. Konon siklus tersebut terjadi hampir sepanjang tahun. Terutama pada bulan-bulan transisi dari musim hujan ke musim kemarau, atau sebaliknya.
Lantaran terjadi terus menerus, akhirnya hal ini pun menjadi semacam tradisi yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan nyalawéna. Diambil dari kata salawé dalam bahasa sunda, yang artinya dua puluh lima. Karena tradisi ini memang dilakukan setiap tanggal dua puluh lima bulan hijriyah.
Kategori Karya budaya
pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, termasuk pengetahuan tradisional, kearifan lokal, pengobatan tradisional
Deskripsi Singkat Karya budaya yang dilaporkan saat ini
Nyalawéna adalah sebuah tradisi unik yang dilakukan masyarakat pesisir Garut Selatan setiap tanggal dua puluh lima pada penanggalan Hiriyah. Tradisi ini adalah tradisi berburu ikan impun di basisir, terutama di sekitar muara sungai. Tradisi ini didasarkan pada pengetahuan tradisional warga masyarakat, tentang siklus hidup ikan ménga yang habitatnya di sungai. Konon, ikan ménga selalu membiarkan telurnya hanyut terbawa arus sungai hingga ke tengah laut. Biasanya, pada tanggal lilikuran (tanggal 21 sampai dengan 29) telur-telur itu menetas, menjadi anak-anak ikan yang sangat kecil-kecil. Dan secara naluriah, anak-anak ménga yang dikenal masyarakat dengan sebutan impun itu, akan mencari jalan pulang untuk kembali ke habitatnya, yakni sungai. Nah, muara adalah jalan pulang tersebut, karena muara berada tepat di antara lautan dan sungai. Dan tanggal dua puluh lima dipercaya sebagai puncaknya migrasi impun-impun tersebut. Warga percaya, pada hari itu muara akan dibanjiri ikan impun. Maka setiap tanggal tersebut, masyarakat beramai-ramai mendatangi muara. Biasanya mereka berbekal alat penangkap ikan yang disebut waring. Alat ini terbuat dari kain tipis, seperti bahan kelambu, diberi gagang berbentuk segitiga, yang terbuat dari rotan.
Dengan menggunakan alat tersebut, warga turun ke laut. Mereka cukup berdiri sambil memegang alat tersebut, menyambut hempasan ombak yang membawa impun-impun dari tengah laut. Setelah ombak lewat, impun-impun tersebut terperangkap di dalam waring. Demikian dilakukan berulangkali, hingga dirasa hasil tangkapannya cukup Yang menjadikan tradisi ini begitu diminati, bukan semata karena banyaknya impun yang bisa ditangkap. Melainkan lebih ke sisi sosial kemasyarakatan. Di sini, sebelum tiba saat yang tepat untuk turun ke laut, masyarakat bisa saling berinteraksi satu sama lain.
Kondisi Karya budaya Saat ini
Masih bertahan
Upaya Pelestarian/Promosi Karya budaya selama ini
Promosi langsung, promosi lisan (mulut ke mulut)
Menurut guru/maestro, komunitas atau perseorangan pemangku karya budaya, bagaimana cara-cara terbaik (Best Practices) untuk melestarikan dan mengembangkan karya budaya yang bersangkutan?
Menjaga kestabilan ekosistem sungai dan laut, yang menjadi tempat tinggal dan berkembangbiaknya ikan-ikan impun. Jika sungai dan lautnya tidak terjaga dan rusak, ikan-ikan impun akan sulit didapat, bahkan bisa jadi musnah sama sekali. Maka perlu Dipromosikan secara aktif oleh Pemda sebagai warisan budaya dan diberi subsidi atau dana pembinaan