Artikel Blog

SIRAMAN PUSAKA DI MAKAM SUNAN CIPANCAR

Sunan Cipancar yang punya nama Wijaya Kusumah lahir pada tahun 1510 M di keraton Galeuh – Pakuan. Berbeda dengan ayahnya ( Prabu Hande Limnasenjaya ), Wijaya Kusuma adalah penganut agama Islam dan menjadi salah satu tokoh penyebar Islam di tatar Garut. Ia pun termasuk pengikut setia Kanjeng Syech Rochman Suci ( Prabu Keyan Santang ). Bahkan dalam melakukan penyebarannya beliau mengkhitan langsung anak – anak dan orang dewasa di lingkungan keraton hingga kemudian di masyarakat.

Ada cerita berkaitan dengan proses Prabu Wijaya Kusuma diislamkan oleh Prabu Keyan Santang. Dikisahkan, ketika Prabu Keyan  Santang melaksanakan syiar Islam di pesisir utara Jawa Barat  ada niat dalam hatinya menyebarkan akidah  akidah baru itu di Keprabuan Galeuh – Pakuan, masa Prabu Hande Limansenja ( ayahanda Prabu Wijaya Kusumah ). Setiba di keraton Galeuh – Pakuan Prabu Keyan Santang tidak menemukan Prabu Hande Limansenja, dan yang ada di tempat adalah putranya, Prabu Wijaya Kusumah.Kemudian Prabu Keyan Santang menanyakan kepada putera Prabu Hande Limansenjaya itu. Dijawab pleh Prabu Wijaya Kusumah bahwa ayahnya sedang “nyepi diri ngisat saliar” di Gunung Mandalawangi, tepatnya di Pasir Jengkol ( wanakerta/Cibatu ).

Prabu Keyan Santang menyuruh Wijaya Kusuma menyusul ayahnya sekaligus menyampaikan amanat agar Prabu Hande Limansenjaya meninggalkan kepercayaan yang lama, dan mau mengantinya dengan keyakinan Islam. Ketika Prabu Wijaya tiba di tempat ‘ penyepian ‘ ayahnya maka disampaikan amanat dari Prabu Keyan Santang. Setelah Prabu Hande Limansenjaya mengetahui maksud kedatangan puteranya, maka dijawabnya bahwa ia tidak akan masuk agama Islam dengan alas an karena sudah terlalu tua. Kemudian ia mempersilahkan peteranya, Wijaya Kusumah, untuk menjadi penganut agama baru itu sekaligus diperintankan menggantikannya sebagai prabu di Galeuh – Pakuan. Sejak itu Prabu Wijaya Kusumah secara resmi masuk agama Islam dan menjadi pengikut setia Prabu Keyan Santang.Usia Wijaya Kusumah ketika itu menginjak 15 tahun.

Ketika Prabu Wijaya Kusumah naik takhta menjadi Raja Galeuh – Pakuan, nama “ Prabu “ tidak dipakai, sebagai mana yang telah digunakan oleh ayah, kakek, dan buyutnya terdahulu. Hal demikian bisa dimengertinya karena Wijaya Kusumah telah menganut agam Islam, dan termasuk salah satu tokoh penyebar Islam di tatar Garut, khususnya di wilayah Limbangan dan sekitarnya. Untuk menggantikan sebutan “Prabu“ bagi seorang raja pada kerajaan yang bercorak Islam maka dipakailah Sunan. Sunan asal kata Susuhunan, berarti yang diagungkan, yang ditinggalkan (derajatnya ) karena selain seorang raja, berperan juga menyebarkan agama Islam.

Wijaya Kusumah memiliki keistimewahan lebih dari pada para tokoh penyebar Islam lainnya di Jawa Barat. Yaitu ia selain pengikut setia, juga pahlawan Islam yang memperoleh penghargaan tertinggi dari Sunan Godog. Konon, pada waktu penyebaran Islam memuncak, Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayatulloh ) hendak mengadakan pertemuan dengan para tokoh penyebar agama Islam di Jawa Barat. Untuk menghadiri pertemuan tersebut, dalam undangan ditambahi kaliamat, bahwa barang siapa yang datang terlambat pada pertemuan itu akan dihukum mati dengan senjatanya.

Hal demikin justru menimpa Wijaya Kusumah.Dengan  berbagai halangan di perjalanan, menembus hutan yang lebat, sungai – sungai yang sulit dilintasi dan naik turun gunung, ia terlambat sedikit di tempat pertemuan. Tentu saja begitu tiba ia disambut oleh beberapa orang algojo yang akan melakukan hukum mati sesuai dengan yang telah tercantum dalam undangan, dan aturan tersebut mesti dilaksanakan secara konsekuen.

Menyadari hal tersebut, Wijaya Kusumah lalu menyerahkan keris agemamnya kepada algojo. Ketika salah seorang algojo menarik keris dari serangka nya selintas tapi jelas Nampak memancarkan lapad “ Laa iqra hafiddien “ sejenak algojo berdiam diri, kaget bercampur heran dan seperti tidak berdaya ia kemudian bersujud kepada Wijaya Kusumah. Algojo segera menghadap Sunan Gunung Jati seraya memperlihatkan keris Wijaya Kusumah. Sunan Gunung Jati dengan tenang menghampiri Widjaya Kusumah, ia maklum bahwa pemegang keris lafad itu adalah seorang yang sangat besar jasadnya dalam mengembangkan Agama Islam, dan keris tersebut merupakan anugrah dari Prabu Keyan Santang (Sunan Godog), Sunan Godog merupakan Paman Sunan Gunung jati sendiri, kepada seorang yang luar biasa dalam penyebaran Islam. Hukuman mati dibatalkan dan Wijaya Kusumah alias Sunan Cipancar dipersilahkan duduk sejajar dengan tokoh – tokoh penyebar Islam lainnya. Dan Galuh Pakuan telah seimbang sejajar, maka berganti nama menjadi Limbangan (saimbang).

Tidak ditemukan sumber (lisan maupun tulisan) kapan wafatnya Wijaya Kusumah, tetapi diperkirakan ia berusia panjang, mencapai usia 100 tahun lebih. Prabu Wijaya Kusumah mempunyai tujuh orang putera, yaitu : Dalem Tumenggung Wangsanagara, Raden Aria Sumanagara, Nyi Mas Raden Ruhiyat, Raden Jayadibrata, Nyi Mas Raden Jaya Panata, Nyi Mas Raden Jayanigrat, dan Nyi Mas Raden Rajamirah.

Ketika Prabu Wijaya Kusumah wafat yang menggantikan adalah putera sulungnya, Dalem Tumenggung Wangsanagara. Prabu Widjaya Kusumah dimakamkan di Pasir Huut, tetapi 80 tahun kemudian makam tersebut dipindahkan oleh Dalem Suryakusumah Rangga Megatsari (cicit Prabu Widjaya Kusumah) ke Kampung Pasir Astana di sebelah atas Sungai Cipancar

 

Upacara Siraman Pusaka

 

          Upacara Siraman Pusaka merupakan kegiatan yang rutin dilaksanakan di Situs Makam Sunan Cipancar.Kegiatan Upacara dimaksud dilaksanakan sejak tahun 1947.Pelaksanaan Upacara Tradisional dipimpin oleh kuncen atau juru pelihara Situs Sunan Cipancar atau yang dipercaya untuk memimpin jalannya Upacara dimaksud.

          Kuncen pertama yang memimpin Upacara Tradisional adalah Aki Iom, Mang Muhamad, Aki Sumanta, Bapak Aj.Achmad Djaenudin sampai tahun 1999, Bapak Aj.Achmad Djaenudin meninggal dunia dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan Bapak Ahmad Djaenudin yang bernama Bapak Komar Kholik. Sampai saat ini Bapak Khomar Kholik menjabat sebagai Juru Pelihara  dan sebagai kuncen Makam adalah Bapak Aceng Sulaeman.

          Pelaksanaan Upacara Tradisional di Situs Makam Sunan Cipancar, dilaksanakan setiap tanggal 15 Maulud bertempat di pinggir makam, atau yang biasa dipakai untuk tawasullan para tamu-tamu yang dating untuk  berjiarah ke makam tersebut.

          Tahapan Upacara Siraman Pusaka tersebut, adalah sebagai berikut :

  1. Upacara Siraman Pusaka dilaksanakan pada pagi hari, pukul 12.00 WIB sampai selesai, diikuti oleh pemangku adat, para juru pelihara, Kepala Desa, tamu undangan serta masyarakat di sekitar makam yang ingin menyaksikan pelaksanaan Upacara Tradisional.
  2. Sebelumnya pelaksanaan upcara, pemangku adat menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan pada pelaksanaan upacara dimaksud. Diantaranya : Baskom (tempat air) yang telah diisi air lengkap dengan 7 macam bunga-bunga (kembang) beraneka ragam yang biasa dipakai untuk upacara, 3 buah kelapa muda (bs : dewegan).
  3. Pusaka-pusaka yang akandiupacarakan adalah pusaka peninggalan Sunan Cipancar serta para karuhun-karuhun Galuh Pakuan pada waktu itu. Pusaka-pusaka tersebut ada yang disimpan di kuncen ada pula pusaka-pusaka yang tersebar di masyarakat yang dahulu masih keturunan Sunan Cipancar. Kebanyakan Pusaka tersebut adalah keris-keris berbagai ukuran, mulai dari yang kecil maupun yang besar. Selain Keris adapula Tumbak dan Pedang.
  4. Acara dimulai setelah para jamaah melaksanakan Sholat Dzuhur, selanjutnya Upacara dimulai dengan menggelar pusaka-pusaka yang akan disiram. Pusaka tersebut diletakan diatas kain putih (boeh larang). Kegiatan gelar pusaka tersebut   diiringi Seni Terbang Sholawatan yang melantunkan puji pujian atau Sholawatan. Dilanjutkan dengan tawasulan yang dipimpin oleh sesepuh atau yang ditugaskan untuk memimpin tawasulan dimaksud, hadirin pun ikut melantumkan Sholawatan tersebut.
  5. Setelah itu ditutup dengan pembacaan Do’a untuk memohon kepada Alloh SWT, agar dalam pelaksanaan Upacara Tradisional Siraman Pusaka tersebut, ada dalam kelancaran tidak terjadi satu hal apapun yang dapat mengganggu jalannya Upacara.
  6. Selanjutnya Pemangku Adat (Kuncen/Juru Pelihara) melaksanakan Upacara Tradisional Siraman Pusaka. Dimulai dengan menyiramai seluruh Pusaka yang ada dibatu dengan juru pelihara yang lainnya. Sementara para tamu memperhatikan dengan seksama jalannya upacara, sambil merasakan hal yang perlu di-Syukuri oleh kita semua, bahwa para leluhur kita  telah memberikan dan mencontohkan bahwa kita sebagai generasi muda patut menjaga dan merawat pusaka-pusaka yang mempunyai nilai budaya yang tak ternilai ini.
  7. Setelah selesai melaksanakan Upacara Tradisional dimaksud, selanjutnya para tamu undangan serta hadirin semuanya dipersilahkan untuk mencicipi makanan ringan yang telah disediakan. Dan Upacara Siraman Pusaka pun selesai dilaksanakan.