Purwa Carita
Secara administrative Desa Dangiang termasuk wilayah Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut. Batas wailayah administrasi Desa Dangiang: sebelah utara berbatasan dengan Desa Jaya Bakti Kecamatan Banjarwangi; sebelah timur dengan Desa Giri Mukti Kecamatan Singajaya; sebelah selatan dengan Desa Cihurip Kecamatan Cihurip; dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cipangrumatan Kecamatan Cikajang. Jika dilihat dalam peta wilayah Kecamatan Banjarwangi, nampak letak Desa Dangiang berposisi menjorok ke arah selatan.
Dewasa ini Desa Dangiang memiliki luas wilayah, kurang lebih 1.885,82 m2,dengan jumlah penduduk 4.525 orang terdiri dari 29 RT, 8 RW dan 3 Kedudusan.Mata pencaharain penduduk mayoritas bertani di sawah dan di ladang dengan pelaksanaan aktivitas pertaniannya masih dilakukan secara tradisional. Wilayah desa ini pun dilalui Sungai Cidangiang yang tidak pernah kekeringan mengalir ke Ciudian-Toblong, hulunya dari Cipangramatan.Sungai Cidangiang inilah senantiasa memberikan keberkahan pada masyarakat Dangiang dan sekitarnya.
Masyarakat Dangiang adalah masyarakat yang taat dalam melaksanakan syareat agama Islam, meskipun kadang-kadang kepatuhan akan kapercayaan adat istiadat masih kuat melekat.
Banyak masjid dan surau didirikan, hampir di tiap RT. Dalam aspek pendidikan para orang tua lebih mementingkan dan antusias memasukan anak-anaknya setelah keluar dari Sekolah Dasar ke pesantren-pesantren dari pada ke SMP.Mereka berharap kelak anak-anaknya setelah usai menempuh pendidikan menjadi seorang Kiyai (ajengan), atau ustad/ustadah, yang berguna di masyarakat. Namun, di samping itu, ternyata kepatuhan akan tradisi leluhur tetap kokoh, tak tergoyahkan, dipertahankan dan dilaksanakan dengan kesadaran tinggi. Salah satu tradisi, atau adat istiadat warisan leluhur yang masih dilaksanakan sepenuhnya secara utuh oleh masyarakat Desa Dangiang hingga sekarang adalah Tradisi Mulud Siram Zimat.Tradisi Siram Zimat ini dilaksanakan pada setiap bulan Mulud, jatuh pada tanggal 14.Tradisi ini termasuk upacara tradisional karena di dalamnya terdapat rangkaian ritual budaya yang sarat dengan simbol-simbol kearifan.
Tradisi atau adat Istiadat (custom) merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, hukum, serta aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu system budaya. Norma, hukum, serta aturan tersebut tidak boleh dilanngar.Sedangkan kebiasaan cenderung berkembang dan mengalami perubahan.Dengan demikian pengertian tradisi atau adat-istiadat dengan kebiasaan cukup berbeda dilihat dari keketatan aturan-aturan di dalamnya. Seperti halnya Upacara Tradisional (customary ritual) Siram Zimat di Desa Dangiang yang dilaksanakan setiap bulan Mulud sejak ratusan tahun yang lalu, ternyata hingga sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Dangiang dan sekitarnya. Setidaknya masyarakat dari 3 (tiga) desa (Dangiang, Jaya Bakti dan Cipangrumatan) masih tetap patuh melaksanakan tradisi warisan leluhur ini dengan mengikuti sepenuhnya acara ritual budaya siram zimat.
Upacara Tradisional atau upacara adat (customary ritual) merupakan upacara-upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat adalah sytem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat bersangkutan.
Upacara tradisional atau upacara adat sebagai kegiatan social biasanya melibatkan para warga masyarakat dalam usaha bersama untuk mecapai tujuan keselamatan bersama. Kerjasama antar warga masyarakat itu sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk social.Ada pun upacara tradisional ini merupakan bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya, karena upacara tradisional memiliki fungsi yang dapat dirasakan untuk memenuhi suatu kebutuhan baik secara individualmaupun secara kelompok.Dalam penyelenggaraannya, upacara tradisional dapat mengikat rasa solidaritas para warga masyarakat. Mereka merasa memiliki kepentingan bersama, dan mencapainya hanya dimungkinkan dengan kerjasamanya dengan orang lain, bahkan sering pula mereka merasa berasal dari leluhur yang sama, sehingga rasa solidaritas itu makin tebal.
Selain itu, upacara tradisional pun sebagai pranata social penuh dengan symbol-symbol yang berperanan sebagai alat media untuk berkomunikasi antara sesama manusia, dan juga menjadi penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. Terbentuknya symbol-symbol dalam upacara tradisional berdasarkan nilai-nilai etis dan pandangan hidup yang berlaku dalam masyarakat. Pendukung nilai-nilai serta adanya pandangan hidup yang sama mencerminkan corak kebudayaan dari masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, melalui symbol-symbol pula pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat itu disampaikan kepada semua warga masyarakat, sehingga penyelenggaraan upacara tradisional itu pun merupakan sarana sosialisasi.Biasanya upacara tradisional diadakan dalam waktu-waktu tertentu, dan ini berarti bahwa penyampaian pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranata-pranata social.
Berbagai macam bentuk upacara tradisional, seperti upacara life cycle, upacara peristiwa alam, upacara yang berkaitan dengan pertanian, nelayan; upacara yang berkaitan dengan bangunan baru, memohon keselamatan seluruh warga kampung dan sebagainya. Salah satu upacara tradisional yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat se kampong, diantaranya, adalah upacara tradisional Siram Zimat di Desa Dangiang Kecamatan Banjarawangi yang dilaksanakan setiap tahun sekali pada bulan Maulud. Upacara tradisional Siram Zimat ini telah menjadi tradisi yang sulit dipisahkan dengan kepercayaan warga masyarakat Dangiang sejak ratusan tahun yang lalu.
Upacara Tradisional Siram Zimat di Desa Dangiang tahun 2011 dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 17 Pebruari 2011, atau bertepatan dengan tanggal 14 Maulud 1423 H. Mengenai hari pelaksanaan tradisi upacara ini terdapat ketentuan khas yang tidak boleh dilanggar, yakni hari Senin, atau Kamis setelah lewat tanggal 12 Maulud. Artinya, tidak diperbolehkan atau dilarang melaksanakan tradisi Siram Zimat di luar kedua hari tersebut.
Suatu keaslian tradisi yang telah diwariskan pendahulunya sejak ratusan tahun lalu nampak masih relative utuh pada masyarakat Dangiang ketika melaksanakan ritual budaya /upacara tradisional siram zimat minggu lalu. Ritus upacara tersebut diawali sejak Rabu malam pkl 23.00, tanggal 13 Mulud, dengan acara “buka silisilah” leluhur masyarakat Dangiang. Acara buka silisilah dipimpin oleh seorang kuncen, bernama Pak Nado, di rumahnya yang dihadiri puluhan orang. Pak Nado mulai buka silsilah dengan membaca sebuah naskah berbentuk buku, berhuruf Arab dan berbahasa Jawa setelah sebelumnya dilakukan sambutan dari Kepala Desa Dangiang, Bapak Abung, SPd. Malam itu selain puluhan orang menyaksikan buka silsilah, banyak pula orang yang melakukan ziarah ke makam leluhur Dangiang dipandu oleh seorang wakil kuncen bernama Bapak Aas. Makam leluhur Dangiang yang sangat dikeramatkan itu bernama Prabu Terus Bawa atau Eyang Jangkung. Buka silisilah selesai pada pukul 01.00, Rabu dini hari, memasuki hari Kamis tanggal 14 Mulud 1423 H, diakhiri dengan doa bersama dipimpin oleh kuncen. Intinya isi naskah yang dibacakan kuncen Nado tadi menginformasikan kepada yang hadir tentang sejarah leluhur masyarakat Dangiang dan turunannya, serta peran tokoh leluhur itu semasa hidupnya sebagai pejuang Islam, beramar ma’ruf nahi munkar, sekaligus penyebar Islam di daerah Dangiang dan sekitarnya. Tokoh leluhur masyarakat Dangiang itu bernama Prabu Terusbawa alias Eyang Jangkung, seorang panglima perang utusan Sultan Agung Mataram yang diberi tugas mengusir Kompeni Belanda dari Bativia pada abad XVII. Karena gagal mengusir colonial Belanda Prabu Terusbawa tidak kembali ke Mataram, namun ia menetap di daerah Dangiang sekarang dan mennyebarkan Islam di daerah itu.Terlepas benar atau tidaknya cerita sejarah itu, yang jelas makam yang dipercayai sebagai makam Prabu Terusbawa ini hingga sekarang dikeramatkan dan diyakini sebagai leluhur masyarakat Dangiang. Bukti bahwa ia seorang pejuang/panglima perang adalah benda–benda peninggalannya berupa senjata tradisional beberapa bilah keris, dan 2 (dua) laras senjata (bedil) kuno yang kini disimpan pada sebuah bangunan tradisional, disebut Joglo. Yang menarik, pada naskah silsilah leluhur Dangiang itu di lembaran akhir disebutkan beberapa nama kuncen dari yang pertama hingga kuncen ke-17. Artinya, bisa jadi, naskah silsilah tersebut disusun oleh kuncen ke-17 pada abad XX. Sayangnya kuncen-kuncen sekarang, Nado, Aas, dan Entang tidak mengetahui kapan naskah disusun. Mereka hanya mengatakan bahwa naskah itu dari dahulu tetap demikian, tidak berubah, sejak menerima dari ayahnya, kuncen sebelumnya.
Pada hari Kamis, 17 Pebruari yang bertepatan dengan tanggal 14 Maulud 1423 hijriyah, tepat pukul 08.00 pagi mulai warga masyarakat yang berasal dari 3 (tiga) desa; Desa Jaya Bakti, Giri Mukti dan Desa Dangiang sendiri, berdatangan pada sebuah bangunan tradisional yang dinamakan Joglo. Banyak pula yang datang kaum wanita, tua dan muda, sambil membawa sebuah bakul berisi nasi tumpeng.Tidak kurang 450 bakul berisi nasi tumpeng berjejer mengitari bangunan Joglo.Konon melalui nasi tumpeng itu, mereka ‘ngalap’ (mengharap) berkah dari rangkaian ritual budaya siram zimat itu, memohon diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidupnya.Sementara di dalam Joglo telah banyak orang terdiri dari warga dan sesepuh masyarakat Dangiang, dan 3 orang kuncen makam Prabu Terusbawa berduduk melakukan musyawarah pembagian tugas kuncen berkaitan dengan pelaksanaan upacara Siram Zimat hari itu.Konon, pembagian tugas kuncen ini mesti dilakukan mengingat ada 2 kegiatan dalam waktu bersamaan.Pertama, kegiatan berziarah ke makam keramat Prabu Terusbawa yang dipimpin oleh kuncen Entang.Perlu diinformasikan jarak makam keramat dari bangunan Joglo sekitar 2 km ke arah barat. Sedangkan kegiatan kedua, yang dipimpin oleh 2 (dua) orang kuncen, Nado dan Aas, diberi tugas memandikan benda-benda pusaka peninggalan Prabu Terusbawa di Wahangan (sungai) Cidangiang, yang jaraknya dari Joglo, sekitar 500 meter ke sebelah utara.Pembagian tugas ini dilakukan agar masing-masing selesai dengan waktu yang sama sehingga pada saat melaksanakan ritus upacara akhir, tawasulan dan doa bersama, serta ngahaturan tuang (secara harfiah berarti memberika makan),tidak harus saling menunggu lama-lama.
Menarik sekali, upacara tradisi siram zimat di Desa Dangiang merupakan wujud kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap adat-istiadat yang telah diwariskan leluhurnya ratusan tahun ke belakang.Betapa tidak, antusias masyarakat yang tinggi dalam mengikuti upacara ini cukup sebagai bukti bahwa tradisi Siram Zimat di Desa Dangiang masih kuat. Dan yang lebih menarik, upacara Siram Zimat tahun 2011 dihadiri oleh petinggi nomer 1 dari dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, Yatie Rohayati, SH, MSi, beserta rengrengannya, di mana tahun-tahun sebelumnya tidak pernah terjadi. Jangankan yang datang pejabat dari Kabupaten, mungkin dari tingkat kecamatan pun jarang dilakukan.Ini yang menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Desa Dangiang dan sekitarnya. Memang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut berkepentingan terhadap kegiatan-kegiatan semacam itu sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya terhadap aspek-aspek kebudayaan yang ada di Kabupaten Garut. Kecuali itu pun, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah membangun pelengkap bangunan Joglo tempat warga masyarakat berteduh dalam mengikuti Upacara Siram Zimat, karena tidak mungkin tertampung dalam bangunan Joglo itu sendiri.Bangunan itu sangat menunjang terhadap kegiatan upacara Siram Zimat tersebut.
Tepat pukul 11.00 siang kuncen Nado dan Aas, serta rombongan yang bertugas memandikan benda-benda pusaka di Sungai Cidangiang telah tiba di Joglo.Kemudian, selang beberapa puluh menit, datang pula kuncen Entang beserta rombongan ziarah. Sebelum pelaksanaan tawasulan dan doa bersama yang di pimpin oleh kuncen Entang,
Ada satu hal lagi yang teramat penting jika kita bisa memaknainya, yaitu dengan adanya upacara tradisional Siram Zimat ini nampak kerukunan, gotong royong, kebersamaan dan solidaritas antar warga masyarakat Dangiang terjalin tanpa kita sadari. Hal-hal itulah yang semestinya kita pupuk secara terus menerus. Mustahil para leluhur mewariskan suatu hal yang akan menjerumuskan kita sebagai turunannya ke sesuatu hal negative. Asal mampu memaknai pada konteks kekinian segala suatu warisan leluhur akan sangat bermanfaat bagi kehidupan kita sekarang, dan itulah yang kita sebut kearifan-kearifan local”.
Memang tepat sekali apa yang telah diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut di atas.Tradisi Siram Zimat merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Sementara, secara umum kebudayaan merupakan hasil karsa, daya dan karya manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup, dan memenuhi kebutuhan hidupnya.