Dari sekian makam keramat di Kabupaten Garut, makam Sunan Godog merupakan obyek wisata ziarah yang paling banyak dan ramai dikunjungi. Hal tersebut dapat dipahami mengingat di lokasi makam ini telah menjadi tradisi sejak ratusan tahun yang lalu pada setiap bulan Maulud diadakan upacara tradisional “ngalungsur” atau Turun Jimat, atau sekarang lebih populer di masyarakat “Ngalungsur Pusaka Godog”.
Upacara Tradisional yang dilakukan setiap tanggal 14 Maulid ini pada intinya dimaksudkan sebagai ungkapan rasa penghormatan dari masyarakat terhadap Sunan Godog alias Prabu Keyan Santang atau Kanjeng Syech Sunan Rokhmat Suci, karena jasanya dalam menyebarkan Agama Islam di Tatar Garut.
Ungkapan rasa hormat itu direalisasikan dengan cara “ngamumule” (memelihara dan merawat) benda-benda peninggalannya sebagai benda Pusaka, seperti berbagai bentuk dan jenis keris, kitab Al-Quran, Cis, Skin dan lain sebagainya melalui upacara Ngalungsur tadi.
Ngalungsur atau menurunkan atau turun jimat memiliki makna dan maksud bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sunan Godog itu telah waktunya dikeluarkan dari dalam Kandaga (peti) yang disimpan di atas sebuah ruangan dalam bangunan makam pada setiap tanggal 14 Maulid.Selain tanggal dan bulan itu ditabukan menurunkan kandaga, serta mengeluarkan benda benda pusaka tersebut.
RANGKAIAN UPACARA NGALUNGSUR PUSAKA GODOG
- Upacara adat "Ngalungsur Pusaka Godog" dimulai dengan berkumpulnya para kuncen atau para juru kunci yang berseragam gamis putih bersorban hijau berkopiah haji warna putih. Sementara yang memakai gamis hijau bersorban putih dan bercelana hitam dengan berkopiah haji berwarna putih adalah sebagai prajurit atau pengusung Jampana yang berisi Kandaga (peti tempat simpanya seluruh benda-benda Pusaka). Seluruh kuncen yang berjumlah 40 orang berkumpul di sebuah Mesjid yang berada di bawah (pintu gerbang masuk ke Makam Godog).
- Jampana yang berisi Kandaga (peti) ditandu oleh 4 orang pengusung dan diarak oleh para Juru kunci dengan didampingi oleh dua orang penjaga yang berada di depan rombongan dengan membawa pedang.
- Rombongan beriringan mengusung kandaga dimaksud, langkah demi langkah menaiki anak tangga menuju kompleks makam dengan diiringi Sholawat Nabi yang terus dikumandangkan oleh rombongan pembawa benda pusaka dimaksud.
- Sesampainya di gerbang kompleks makam rombongan disambut dengan tim upacara penyambutan, biasanya oleh tim Qasidah atau Upacara Tradisional.
- Selanjutnya rombongan langsung menuju aula untuk menyimpan kandaga tempat benda pusaka tersebut disimpan.
- Selanjutnyan para peziarah dan para tamu undangan dipersilahkan untuk berkumpul di tenda-tenda yang telah disediakan oleh panitia pelaksana, sedangkan para tamu undangan duduk di saung berukuran 4 x 4 meter. Setelah semuanya berkumpul terlebih dahulu diadakan upacara seremonial yang dihadiri aparat pemerintah (mulai Camat hingga pejabat dari tingkat kabupaten, serta sejumlah anggota masyarakat luas yang sengaja datang sekadar menyaksikan upacara, atau juga yang sambil berziarah. Pada acara ini biasanya berisi sambutan, baik dari pejabat pemerintah maupun dari sesepuh Juru Kunci sendiri).
- Setelah acara seremonial, seluruh Juru kunci, tamu undangan dan para peziarah dipersilahkan memasuki aula untuk bersama sama menyaksikan acara Pencucian benda benda Pusaka yang ada tersimpan dalam Peti (Kandaga).
- Setelah membacakan do’a, yang dipimpin oleh para sesepuh makam, selanjutnya, kain penutup kandaga yang berwarna hijau dan satu persatu Pusaka dikeluarkan dan selanjutnya mulai dicuci (dimandikan) dengan menggunakan air “khusus” dicampuri minyak wangi khusus pula serta berbagai macam kembang/bunga. Benda Pusaka tersebut dicuci dengan minyak khusus seperti minyak keletik, jeruk nipis untuk menghilangkan karat, dan minyak wangi. Biasanya seorang sesepuh juru kunci (kuncen) yang telah dipercayakan oleh 40 orang lebih anggota Ikatan Keluarga Juru Kunci (IKJK) makam keramat Godog diberi kewenangan penuh mengurus serta memandikan benda-benda pusaka pada upacara Ngalungsur tersebut.
Benda pusaka yang sudah berusia ratusan tahun itu yakni seperti senjata keris yang berjumlah 15 yang dahulu digunakan bukan sebagai senjata untuk melakukan kekerasan melainkan sebagai pegangan menjaga diri saat berjuang menyebarkan ajaran Islam.
Beberapa benda Pusaka yang dianggap keramat adalah :
- Berbagai bentuk keris dan Pedang, diantaranya ada Keris 11 eluk Rambut cacing, Keris 5 eluk Naga Pesona, Keris 7 eluk Naga Musakti, Keris 7 eluk Wala Sungsang, Keris 9 eluk Sanga Buana, Keris gagak Lumayung, Keris manik Gumilang dan Keris Tumbak.
- Selain itu ada Pusaka tanduk berbentuk terompet. Pusaka ini digunakan untuk memberitahukan dan mengajak masyarakat berkumpul menggelar musyawarah dengan cara ditiup hingga mengeluarkan bunyi khas. Ajaibnya benda pusaka tanduk ini hanya bisa berbunyi oleh kangjeng Sunan Rochmat, kalau sekarang tidak bisa bunyi, itulah keajaiban yang tidak dapat masuk akal manusia.
- Benda peninggalan lainnya yakni pecut atau disebut Cameti, kemudian rante untuk mengukur waktu hingga mengetahui waktu menjalankan ibadah shalat.
- Kemudian Babango atau gunting yang ukurannya kecil sebagai alat tajam zaman dulu untuk khitanan atau memotong kelamin laki-laki sebagai salah satu syarat mengikuti ajaran agama Islam. "Alat gunting ini untuk khitanan ukurannya kecil, tapi ia (Syech Sunan Rochmat) bisa melakukannya," katanya.
- Selain itu benda pusaka lainnya yakni benda miniatur alat-alat menanak nasi dan pertanian, benda tersebut sebagai gambaran bahwa macam-macam bentuk alat pertanian dan menanak nasi sudah dibentuk pada zaman dulu.
Sampai saat ini pada bulan Mulud Makam Sunan Godog banyak didatangi para peziarah yang datang berbondong-bondong dari berbagai pelosok, kebanyakan dari luar Kabupaten Garut. Mereka datang dengan menggunakan kendaraan roda empat datang berombongan. Konon, Bupati Garut pertama Raden Adipati Aria Adiwijaya pun dahulu tidak pernah ketinggalan, seriap tanggal 14 Maulid mesti ziarah ke makam itu.
Para peziarah yang datang ke Makam Godog tersebut oleh pihak kuncen selalu diingatkan bahwa melestarikan benda pusaka dan menghormati pemiliknya itu bukan menyembah pusakanya atau peninggalannya, bukan berarti mengunggulkan benda pusaka sehingga timbul keyakinan akan memberikan barokah melainkan bentuk penghormatan agar benda tersebut terjaga baik.