Candi Cangkuang terletak di Desa Cangkuang terletak diantara kota Bandung dan Garut yang berjarak +-2 km dari kecamatan Leles dan 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Kondisi lingkungan di Kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik, kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat Visabilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah.
Sumber daya listrik untuk keperluan penerangan dikawasan ini berasal dari PLN yang alirannya diambil secara tidak langsung melalui salah satu rumah penduduk di kampung Cangkuang. Sumber air bersih dikawasan ini berasal dari sumur dan air danau dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal. Berhubung karena tidak boleh adanya bangunan lain yang dibangun di Kampung Pulo maka di kampung Pulo tersebut tidak terdapat fasilitas Wisata Lainnya.
Sekilas tentang Kampung Pulo
Kampung pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kampung Pulo ini sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kampung Ciakar Kecamatan Leles Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat.
Adapun batas administrasi dari Kampung Pulo adalah sebagai berikut:
- Utara : Desa Neglasari kecamatan Kadungora
- Selatan : Desa Margaluyu dan desa Sukarame
Kecamatan Leles
- Timur : Desa Karang Anyar dan desa Tambak Sari
Kecamatan Leuwigoong
- Barat : Desa Talagasari kecamatan Kadungora dan
desa Leles Kecamatan Leles
Keterangan Denah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo :
1. RumahKuncen
2. Rumah Adat
3. Rumah Adat
4. Rumah Adat
5. Rumah Adat
6. Rumah Adat
7. Mesjid Kampung Pulo
Tentang Arif Muhammad
Tokoh yang satu ini sangat popular bagi masyarakat Garut khususnya masyarakat Leles dan sekitarnya.Walaupun riwayatnya hanya dituturkan dari mulut ke mulut, namun masyarakat menyakini tokoh ini adalah penyebar agama Islam pertama di daerah Leles dan sekitarnya. Kenyakinan ini diperkuat oleh peninggalan Arif Muhammad berupa mushaf Al Qur’an yang terbuat dari daluang (saeh) yang ditulis tangan, serta kitab-kitab pelajaran agama islam lainya.
Keturunannya menyebut tokoh ini dengan sebutan EMBAH DALEM ARIF MUHAMMAD.Beliau dimakamkan di kampung Pulo, tepat ditengah-tengah Telaga Candi Candi Cangukang, disamping bangunan Candi Cangkuang.
Menurut ceritera, Arif Muhammad adalah salah seorang prajurit Mataram yang diutus meminpin penyerbuan ke benteng VOC di Batavia.Namun penyerangan tersebut gagal karena pasukan Mataram berhasil dipukul mundur oleh pasukan VOC. Sebagian prajurit Mataram mundur ke Priangan Timur, termasuk pasukan Arif Muhammad.
Namun Arif Muhammad, tidak mau kembali ke Mataram karena malu, beliau singgah di kampung Cangkuang dan menyebarkan agama Islam disana. Menurut ceritera setempat Arif Muhammad dan pasukannyalah yang membendung daerah ini sehingga terbentuklah sebuah danau yang dinamakan Situ Cangkuang.
Masyarakat cangkuang waktu penduduknya telah menganut agama Hindu, sewaktu Arif Muhammad melakukan Islamisasi, pertama tama beliau menghancurkan tempat pemujaan masyarakat setempat yaitu Candi Cangkuang, hal itu dilakukan mengingat masih banyak penduduk yang melakukan pemujaan ke candi tersebut. Reruntuhan batu candi sebagian ada yang dipakai nisan, anak tangga dan ditenggelamkan di dasar danau.
Saat meninggal dunia, ia meninggalkan 7 orang putra, 6 perempuan dan 1 laki-laki. Anak-anaknya ditempatkan di rumah-rumah yang kini disebut Rumah Adat Kampung Pulo. Kampung adat pulo terdiri dari 6 buah rumah yang berjejer berhadapan ( 3 rumah dikiri dan 3 rumah di kanan) ditambah dengan 1 buah Mesjid, kedua deretan itu tidak boleh ditambah atau dikurangi, dan yang menghuni Kampung Pulo itu hanya 6 keluarga. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % masyarakat Kampung Pulo beragama Islam tetapi mereka juga tetap melaksanakan sebagian upacara ritual Hindhu.
Kesatria Dari Mataram
Terbitlah sebuah kisah, seorang pemuda tampan nan gagah perkasa penuh dengan wibawa. Tubuhnya kekar tinggi dan besar, kulitnya putih bersih bersinar dan berisi, otot-ototnya membentuk penuh keserasian mengisyaratkan suatu kekuatan sebagai hasil dari berbagai macam jenis latihan dan tempaan yang cukup lama dan panjang.
Raut wajahnya memancarkan sinar simpati penuh kewibawaan yang mengalir di setiap pembuluh-pembuluh seluruh raut mukanya karena ada suatu kekuatan yang maha dahsyat menggelora di dalam rongga dadanya tentang keyakinan, perjuangan, kearifan, kebenaran, keikhlasan, dan keluasan wawasan berpikir terus hidup tak henti hentinya bergejolak membara.
Siapakah sebenarnya pemuda tampan nan gagah perkasa itu? Mari kita lihat! Kita perhatikan pakaian yang dikenankannya, mengajak kita yang penuh rasa penasaran ini bermain-main dengan tebak terka. Bagian mahkota yang bertengger di kepala menghiasi kearifan diri, susumping penghias telinga kiri dan kanannya mengisyaratkan kewaspadaan sikap dirinya yang sejati, sepasang kilat bahu melingkar dibagian lengan kiri dan kanannya menjelmakan seorang kesatria pinilih tanding, serta kalung yang berayun menggantung di dadanya melatik dirinya seorang perwira dari sebuah kerajaan besar dan ternama di tanah Jawa.
Siapakah sebenarnya pemuda pembangkit rasa penasaran kita ini? Ia adalah seorang panglima perang dari kerajaan Mataram, salah seorang terpercaya Sultan Agung Raja Mataram di bumi Jawa Tengah, Ia bernama Syeh Arif Muhammad penyebar agama Islam Kerajaan Sumenep dari tanah Madura.
Saat cerita ini digelar, saat dimana Panglima peperangan Mataram Syeh Arif Muhammad sedang meniti perjalanan-berjalan di abad ke 17, tepatnya di tahun 1628-1629, saat Syeh Arif Muhammad sedang memimpin para senopati- senopati berembug menggelar suatu musyawarah bersama para pemimpin prajurit tempur, mengatur strategi untuk dilancarkan esok pagi. Entah sudah berapa ratus kali kegiatan rutin musyawarah itu berlangsung di bumi perkemahan markas prajurit Mataram-selama melancarkan titah Raja amanat rakyat tanah Jawa yang sedang dilanda tekanan – tekanan kaum penjajah, penguras kekayaan negri pertiwi.
Musyawarah perundingan pada malam itu suasananya jauh bebeda dengan perundingan-perundingan sebelumya yang diwarnai hasil laporan para senopati tentang berita kegemilangan dank e gagalan dari hasil serbuan merebut sebuah benteng pertahanan Belanda di Kota Batavia.
Suasana hening malam itu menyelimuti setiap hati para peserta musyawarah yang dipimpin oleh Syeh arif Muhammad yang dilingkari oleh para senopati, hulu baling dan para mentri kerajaan Mataram yang sedang dirundung kebingungan, dikungkung kekalutan, dan dicengkram ketidakpastian akan kelanjutan perjuangan, karena terungkap laporan diantaranya :
- Berkatalah Kalijaga : “Izinkalanlah saya, selaku penanggung jawab penjaga lumbung padi dari daerah sukapura, wahai panglima perang Mataram, bahwa sejumlah 30 gudang sebagai lumbung padi habis terbakar seminggu yang lalu disaat utusan dari tuan panglima sampai di daerah kami. “demikian hulu balang Mataram dengan suara terbata-bata.
- Bertutur pulalah Arus Wirabaya salah seorang penanggung jawab persediaan makanan dari daerah Cianjur, disusul laporan dari Aria Wiradijaya, begitu pula menuyusul dari Eyang Jumlah silih berganti melaporkan keadaan darurat yang cukup hebat melanda pusat-pusat pertahanan kekuatan yang sukup vital dalam startegi sebuah penyerbuan perang penyerbuan.
- Laporan pada malam itu di tutup dari Prabu Santoan yang cukup mengejutkan para peserta musyawarah pada waktu itu yakni banyaknya prajurit yang menderita wabah penyakit malaria yang pada saat itu belum diketahui namanya dan penyebab serta obat-obatan penanggulangannya.
Semua yang hadir saat itu saling bertatapan mlemparkan ketidak berdayaan akan situasi yang terjadi, dan pikiran-pikiran mereka berkelana tanpa tujuan mencari jalan keluar yang terbaik.
Bangkitlah putra Mataram Panglima perang Syeh Ari Muhammad dan bertutur : “Kita semua prajurit Mataram yang sejati bersendikan sipat seorang Kesatria”. Ingatlah lima sandi yang tertanam dalam hati prajurit kesatria sejati yakni :
- Percaya kuat kepada yang Maha Widi Alloh SWT.
- Rela mati demi kebenaran yang sejati.
- Berjuang tanpa pamrih.
- Mengemban amanat menyebarkan kebajikan dan keadilan.
- Iklhas walau tidak merasakan hasil perjuangan.
Tutur ucap Syeh Arif Muhammad sayup sayup meresap ke setiap sendi-sendi tulang para prajurit Matarma yang tengah mengikuti musyawarah saat itu, bagaikan sebuah nyala dian kecil yang berkelap kelip dibawah tumpukan sekam padi kering yang bersimbah air hujan menunggu datangnya hembusan angin untuk berubah menjadi bara api yang panas membara dan mampu menghanguskan hutan kayu nan luas.
Tak terasa pagi hadir membangunkan sang Giwangkara untuk segera menepati janjinya menerangi bumi tanah Jawa bersepakat dengan janji janji para senopati dan sumpah-sumpah para ponggawa dan ikrar-ikrar para menteri Negara, untuk terus maju bertempur di medan pertempuran menumbangkan benteng kedholiman Benteng Batavia yang dibangun Belanda.
Melihat Syef Arif Muhammad menaiki kudanya, terlihat oleh segenap para ponggawa yang tersisa bagaikan sejuta perwira yang telah siap sedia. Syeh Arif Muhammad menghunuskan keris pusakanya terpencar sinar kemilau bagaikan seribu padang, kangkang dan golewang yang menganga kehausan darah durjana penjajah Belanda.
Akhirnya dipaculah kudannya ke tengah tengah kancah penentuan hidup atau mati. Menyeruaklah suara-suara para prajurit Mataram menggema di atas langit kota Batavia menggetarkan kokohnya benteng dan ketegaran prajurit kompeni yang membalas dengan letusan-letusan peluru dan mesiu memburu sasaran dan kelengahan para prajurit Sultan Agung dibawah komando pang lima perang Syeh Arif Muhammad.
Tangga-tangga berhasil disandarkan ke dinding benteng tinggi Batavia yang menjulang, dan para prajurit melesat bagaikan busur-busur panah siap memanjat mencapai puncak kemenangan melewati ruang diantara dua belahan ruang yang dijaga tentara kompeni VOC yang tengah siap sedia menyambutnya menawarkan maut di ujung bayonetnya yang terhunus meminta korban.
Siang itu entah berapa waktu lamanya pertempuran berlangsung, tanah Batavia mengalirkan darah, darah- darah kesumah bangsa putra putra Mataram merah menghiasi arena digjaya memantulkan kesucian demi ibu pertiwi. Rumput dan ilalang di sekitar menegakkan batangnya bersedia mengangkat supah menjadi saksi abadi dari setiap prajurit yang mengerang kesakitan akibat luka tusukan dan tembakan, menyaksikan para sinatria yang mneghembuskan napasnya yang terakhir menebus kebenaran dari tembusan tembusan peluru panas kaum penjajah.
Senja menghampiri datang, seakan membawa kabar dan bercerita ke tengah dua kelompok insan yang sedang menuliskan cerita nama bangsanya masing-masing tentang penjajahan dan perjuangan. Senja diantarkan angin ke hadapan dua pemimpin besar dua bangsa yang bermusuhan menawarkan dua pilihan, apakah peperangan dan pertempuran terus dituntaskan? ataukah diteruskan esok pagi bersama sinar matahari yang kini telah perlahan pergi meninggalkan saksi.
Senja mengisyaratkan hati Syeh Arif Muhammad untuk menarik pasukannya dari tengah-tengah penentuan nasib hidup atau mati yang masih tersisa.
Senja pula yang meneguhkan hati panglima perang Mataram tidak hanya menarik sisa pasukannya untuk senja ini, melainkan untuk membawa pulang ke pusat kerajaan Mataram di Jawa Tengah untuk menghimpun kekuatan baru sambil bertafakur menelsuri kelemahan dan kesalahan, yang semua kesalahan dan kelemahan itu telah memaksakan menurunkan panji-panji Mataram serta menuliskan tinta hitam kekalahan pada catatan sejarah yang digariskan takdir,qodlo dan qodrat Alloh SWT.
Di tengah perjalanan pulang menuju bumi Mataram, Syeh Arif Muhammad beserta 5 orang kaki tangannya yang setia yaitu Eyang Kalijaga, Prabu Wirabaya, Wiradijaya, Eyang Jumlah, dan Prabu Santoan bertemu dengan seorang kiayi bernama Eyang Nagagatrek penduduk asli kampung Pulo, tepatnya sekarang ini di desa Cangkuang Kecamatan Leles Kabupaten Garut.
Berdasarkan kata sepakat bulat ke lima sahabat Syeh Arif Muhammad untuk menghimpun kekuatan baru di daerah kampung Pulo dengan upaya menyusun kekuatan melalui penyebaran keyakinan hidup pedalaman dan penyebaran agama Islam.
Daerah Kampung Pulo sangat strategis dipandang oleh Syeh Arif Muhammad karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:
- Tanahnya subur, terisolir oleh dano, artinya dataran tanah pulo itu dikelilingi oleh danau, tepat juga dijadikan tempat persembunyian dalam menyusun kekuatan.
- Terdapat berbagai jenis tumbuhan yang mampu dijadikan sumber kehidupan selama menyusun kekuatan, artinya kehidupan akan berlangsung dari pengolahan pertanian.
- Merupakan daratan rendah tempat bermuaranya aliran 7 sumber mata air alami diantaranya : situ bagendit, situ Dungusiku, situ Ciparahu, situ Sukarame, situ batu, cicapar.
- Syeh Arif Muhammad hatinya merasa terpanggil, setelahnya juga melihat keadaan masyarakat yang kehidupan beragamanya terlantar setelah runtuhnya kejayaan agama Hindu, yang konon sekarang berdiri renovasi bangunan Candi Cangkuang. Beliau terpanggil untuk menyebarkan agama Islam ke lingkungan wilayah di sekitar kampung pulo dan sekitarnya , dengan upaya tidak melalui pemaksaan melainkan pengertian.
Setelah beberapa tahun berjalan, hiduplah Syeh Arif Muhammad membangun daerah Kampung Pulo Panjang dibantu oleh sahabat sejatinya membangun dengan keteraturan dan penataan kepemerintahan sebagai berikut:
- Syeh Arif Muhammad sebagai yang ditugaskan
- Eyang Nagagatrak sebagai wakilnya
- Eyang Kalijaya, Wirabaya dan Wirajaya sebagai Penanggung jawab persiapan penyusun kekuatan keprajuritan , dan Prabu Santoan Panglima Perangnya.
- Eyang Jumlah sebagai bendaharanya
Di dalam menjalankan roda kepemerintahan di daerah Kampung Pulo itu Syeh Arif Muhammad sangat menekankan pada kelestarian lingkungan untuk kelangsungan hidupnya berdasarkan pengalaman penyebab kekalahan perjuangannya melawan penjajah yaitu gagalnya persediaan makanan akibat pembumihangusan lumbung –lumbung makanan, maka disepakatilah berupa larangan adat khusus untuk wilayah Kampung Pulo diantaranya :
- Tidak boleh memelihara hewan berkaki empat, pemakan rumput, dengan maksud dan tujuan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan dalam persiapan menyusun kekuatan hanya mengandalkan pada sumber makanan yang ada di sekitar dikhawatirkan seandainya kehidupan ternak berkembang di sekitar kampung Pulo tersebut akan berakibat sebagai ancaman kelestarian sumber makanan disekitar.
- Tidak boleh menambah jumlah bangunan yang terdiri dari 6 rumah bangunan dan 1 masjid. ini dimaksudkan menjaga persiapan penyusunan kekuatan tidak diketahui dan tersebar ke luar, sehingga maksud penyusunan kekuatan tidak tercapai. Untuk mengatasi perkembangan jumlah anggota keluarga keturunan dari Syeh Arif Muhammad dikeluarkan larangan semacam tabu jika dari ke 6 putrinya dan satu putranya lahir keturunan baru maka yang berhak tetap terus tinggal adalah anak perempuannya, sedangkan keturunannya yang laki-laki harus ke luar kawasan Kampung Pulo untuk menyusun kekuatan baru dan menyebarkan perluasan agama Islam. Hingga saat kini jumlah bangunan tetap dilestarikan sebanyak 6 bangunan rumah untuk keturunan perempuan dan 1 mesjid untuk keturunan laki-laki. Sampai hari ini telah sampai kepada kelahiran keturunan yang ke tujuh.
- Tidak boleh membunyikan Bende (goong besar) dimaksudkan agar maksud penyusunan kekuatan tetap terlaksana sebab bila suatu bentuk bunyi-bunyian terdengar sampai ke kawasan lain maka niat untuk menghimpun kekuatan diketahui orang lain. Dan larangan itu pernah dilanggar atas desakan Kampung Pulo kepada Syeh Arif Muhammad pada saat mempestakan acara Menyunat putranya yang laki-laki. Meriahlah acara pesta itu dari tahap awal persiapan hingga acara menjelang acara penyunatan hendak dilaksanakan, ketika sedang mengarak calon pengantin sunat dengan upacara mengarak keluar kawasan Kampung Pulo dengan cara menghidupkan suasana kegembiraan keluarga menabuh Bende (goong besar) terjadilah angin taupan yang sangat besar, hingga anaknya terbawa (calon pengantin sunat) kembali ke tanah, putra satu-satunya Syekh Arif Muhammad itu telah tak bernyawa lagi. Sejak saat itu pula masyarakat di Kampung Pulo mentabukan pemukulan bende (goong besar)di kawasan pemukiman Syeh Arif Muhammad.
- Dilarang membangun bentuk bangunan rumah Jure (berbentuk prisma segi empat),ini pun dimaksudkan akan rencana penyusunan kekuatan tak diketahui orang lain, sebab jika bentuk bangunan prisma (jure) permukaan bagian atasnya lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk bangunan (jolopong) atau prisma segi empat atau bentuk bangunan atap rumah yang lainnya. Ini pun pernah dilanggar, ketika menandu calon pengantin sunat putra Syeh Arif Muhammad dan membawa malapetaka dengan kematian putranya terbawa angin taupan.
Adapun nama cangkuang saat sekarang ini lebih dikenal daripada nama Kampung Pulo, karena, renovasi candi dan pemugaran candi cangkuang oleh pemerintah ditempatkan di daerah yang banyak ditumbuhi dengan pohon-pohon yang banyak masyarakat menanamkan (tangkal cankuang) pohon cangkuang.
Dalam adat istiadat Kampung Pulo terdapat beberapa ketentuan yang masih berlaku hingga sekarang yaitu :
- Dalam berjiarah kemakam-makam harus mematuhi beberapa syarat yaitu membawa berupa bara api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan dan serutu. Hal ini dipercaya untuk mendekatkan diri (pejiarah) kepada roh-roh para leluhur.
- Dilarang berjiarah pada hari rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkenankan bekerja berat, begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut digunakan unutk mengajarkan agama. Karena menurut kepercayaan bila masyarakat melanggarnya maka timbul mala petaka bagi masyarakat tersebut.
- Setiap tanggal 14 bulan Maullud mereka malaksanakan upacara adat memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakna dan mendapat berkah.
- Yang berhak menguasai rumah- rumah adat adalah wanita dan diwariskan pula kepada anak perempuannya. Sedangkan bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus meninggalkan kampung tersebut setelah 2 minggu.
Demikianlah cerita legenda masyarakat kampung pulo dari perjalanan seorang putra mataram yang gagal menuliskan keberhasilan dalam memperjuangkan melawan penjajah di dalam buku sejarah, namun beritikad baik untuk menyusun kembali suatu kekuatan dan terbuka tabir sekarang karena ditemukannya situs sejarah tentang penyebaran agama hindu akan adanya bangunan candi yang secara kebetulan lokasinya sama di daerah kampung pulo.
Jadi menurut catatan sejarah tidak ada kaitan yang erat antara sejarah candi cangkuang dengan perjalanan hidup perjuangan Syeh Arif Muhammad.
Upacara Tradisional
Kegiatan Upacara Tradisional Memandikan Benda Pusaka di Lingkungan Kampung Adat Pulo, dilaksanakan setiap tanggal 14 bulan Mulud. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada jam 24.00 WIB sampai jam 13.30, dihadiri oleh 6 (enam) keluarga yang ada di Kamung Pulo tersebut serta keluarga yang sudah berada di luar Kamung Pulo. Sda juga masyarakat luar Kampung Pulo yang dating dan ingin mengikuti serta menyaksikan ritual memandikan benda benda Pusaka peninggalan Mbah Dalem Arip Muhammad dan leluhur Kampung Pulo lainnya.
Kegiatan dimaksud dipimpin oleh Ketua Adat atau yang ditugaskan oleh Keua Adt untuk memimpin ritual dimaksud.Adapun rincian kegiatannya adalah sebagai berikut :
- Kegiatan Upacara tersebut dilaksanakan di salah satu rumah yang ditunjuk oleh Ketua Adat (Pemangku adat) bisa dirumah siapa saja, tidak harus di rumah Ketua Adat.
- Sebelum pukul 24.00 WIB, seluruh keluarga dan para tamu hadir menyaksikan Ritual dimaksud.
- Sebelum pelaksanaan Ritual adat, Pemangku (Sesepuh Adat) menyiapkan berbagai perlengkapan Upacara diantaranya : 4 (tiga) buahWadah yang berisi air yang sudah ditaburi kembang, kain putih (boeh larang), sesajen (2 buah Kelapa Muda, Rujak, Air Kopi Pait dan Kopi Manis, Surutu, makanan ringan/hahampangan, Terlur Ayam, Parupuyan, Menyan dll)Nasi Tumpeng serta minyak wangi, ikan bakar yang diambil dari situ cangkuang.
- Pusaka yang akan dimandikan sudah digelar diatas Kain putih (Boeh larang) diantaranya : berbagai macam keris, Golok, berbagai macam kujang, meriam bundar yang disimpan pada sebuah wadah (penampan), Tongkat dari Kayu, berbagai macam batu, serta pusaka pusaka lainnya.
- Tepat jam 24.00 WIB, parupuyan dinyalakan, kemenyan pun mulai dibakar, asap kemeyan menebar aroma yang khas memenuhi rumah.
- Pemangku Adat mulai membuka acara ini dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakannya upacara tersebut.
- Selanjutnya diawali dengan Tawasulan (hadiah) kepada Nabi Besar Muhammad SAW dengan membacakan Sholawat Nabi serta do’a do’a lainnya.
- Ritual dimulai dengan membasuh Keris yang dicelupkan kedalam air yang sudah ditaburi kembang (bunga-bunga) sambil dikumandangkan Sholawat Nabi oleh seluruh tamu yang hadir.
- Selanjutnya seluruh pusaka yang ada dimandikan oleh ketua adat atau yang memiliki pusaka dimaksud. Setelah dimandikan diberi disemprot dengan minyak wangi dan disimpan kembali pada tempatnya
- Setelah pelaksanaan memandikan barang pusaka selesai, Pemangku Adat menutup Ritual ini dengan Do’a. selanjutnya tamu yang hadir di persilahkan untuk mencicipi nasi tumpeng yang telah disediakan. Dan Upavara Tradisional Memandikan Pusaka di Kampung Pulo pun selesai.